Kamis, 17 Maret 2011

"ayok ngewarnain bareng"

"bangun!" suara nyaring itu lagi
padahal matahari belum lagi berbentuk sempurna di atas sana
dan pagi masih dingin
tapi wajah mungil berseri itu muncul dan tampak lebih cerah dan menghangatkan daripada matahari
aku jadi tidak bisa melanjutkan mimpi
lalu si kecil itu, dengan sekotak crayon warna warni di tangannya kirinya
sudah bersiap memulai petualangannya hari ini
"ayok ngewarnain bareng"
 

lirik lagu (inspiring words)

 Project Pop, ingatlah hari ini:
Kamu sangat berarti
Istimewa di hati
Selamanya rasa ini
Jika tua nanti
Kita t'lah hidup masing-masing
Ingatlah hari ini

Chrisye, lirih:
Adakah kau mengerti kasih rindu hati ini
tanpa kau disisi
mungkin kah kau percaya kasih bahwa diri ini
inging memiliki lagi


Avril Lavigne, who knows:
Who knows what could happen
Do what you do
Just keep on laughing
One thing's true
There's always a brand new day
I'm gonna live today like it's my last day

Pink, f*ckin' perfect:
Pretty pretty please, don't you ever ever feel
Like you're less than f*ckin' perfect
Pretty pretty please, if you ever ever feel like you're nothing
You're f*ckin' perfect to me! 

Lady Gaga born this way:
I'm beautiful in my way,
'Cause God makes no mistakes
I'm on the right track, baby
I was born this way 

Natasha Bedingfield freckles:
'cause a face without freckles is like a sky without stars
Why waste a second not loving who you are
Those little imperfections make you beautiful, lovable, valuable,
They show your personality inside your heart
Reflecting who you are


Maliq and D'essentials, buka mata hati telinga:
Benarkah cinta diatas segalanya
Hanyakah itu satu-satunya

Yang menjadi alasan untuk menutup mata
Tak melihat dunia yang sesungguhnya
Dan menjadi jawaban atas semua tanya
Yang kita harap mampu mewujudkan sebuah akhir bahagia

Reff:
Buka mata hati telinga
Sesungguhnya masih ada yang lebih penting dari sekedar kata cinta ooo..
Yang kau inginkan tak selalu
Yang kau butuhkan mungkin memang yang paling penting
Cobalah untuk membuka mata hati telinga
Benarkah cinta diatas segalanya
Hanyakah itu satu-satunya

Yang menjadi alasan untuk menutup mata
Tak melihat dunia yang sesungguhnya
Dan menjadi jawaban atas semua tanya
Yang kita harap mampu mewujudkan sebuah akhir bahagia

Reff:
Buka mata hati telinga
Sesungguhnya masih ada yang lebih penting dari sekedar kata cinta ooo..
Yang kau inginkan tak selalu
Yang kau butuhkan mungkin memang yang paling penting
Cobalah untuk membuka mata hati telinga
Benarkah cinta diatas segalanya?
Hanyakah itu satu-satunya?
Yang menjadi alasan untuk menutup mata
Tak melihat dunia yang sesungguhnya

Terry, harusnya kau pilih aku:
Kau... harusnya memilih aku
Yang lebih mampu menyayangimu
Berada di sampingmu
Kau... harusnya memilih aku
Tinggalkan dia, lupakan dia
Datanglah kepadaku

Ricky Martin, private emotion:
Every endless night has a dawning day
Every darkest sky has a shining ray
And it shines on you baby can't you see
You're the only one who can shine for me

It's a private emotion that fills you tonight

And a silence falls between us
As the shadows steal the light
And wherever you may find it
Wherever it may lead
Let your private emotion come to me
Come to me
When your soul is tired and your heart is weak

Do you think of love as one way street
Well it runs both ways, open up your eyes
Can't you see me here, how can you deny?

Every endless night has a dawning day

Every darkest sky has a shining ray
It takes a lot to laugh as your tears go by
But you can find me here till your tears run dry
It's a private emotion that fills you tonight

And a silence falls between us
As the shadows steal the light
And wherever you may find it
Wherever it may lead
Let your private emotion come to me


Lady Antebellum, All we'd ever need:
I should’ve been chasing you
I should’ve been trying to prove
That you were all that mattered to me
I should’ve said all the things that I kept inside of me
And maybe I could’ve made you believe
That what we had was all we’d ever need

Satu cerita tentang manusia
Coba ‘tuk memahami arti cinta
Benarkah cinta diatas segalanya
Hanyakah itu satu-satunya

Yang menjadi alasan untuk menutup mata
Tak melihat dunia yang sesungguhnya
Dan menjadi jawaban atas semua tanya
Yang kita harap mampu mewujudkan sebuah akhir bahagia

Reff:
Buka mata hati telinga
Sesungguhnya masih ada yang lebih penting dari sekedar kata cinta ooo..
Yang kau inginkan tak selalu
Yang kau butuhkan mungkin memang yang paling penting
Cobalah untuk membuka mata hati telinga

Selasa, 15 Maret 2011

My Little Evaline: Nakal

Dia datang dengan langkah kaki-kaki kecilnya yang ringan
Suaranya yang riang selalu bergema
Nakal
Selagi ia menari-nari dan melompat
Satu lagi gelak tawa mengisi siang hari yang kosong itu
Lalu ia mulai lagi dengan kebodohannya yang nakal
Berlarian sambil membawa bedak yang akan ia buang-buang
Atau bermain air hingga menggigil
Lalu ia akan menerobos pagar di siang hari yang panas itu
Berlarian di sepanjang gang mencari temannya
Atau mungkin hanya duduk di teras mesjid, berbicara dengan tukang becak yang lewat
Lalu ketika terlihat olehnya pohon belimbing wuluh di halaman rumah
Ia segera lari ke dapur
Mengambil pisau plastiknya
Ia petik buah-buah belimbing itu, mengirisnya, dan akhirnya membiarkan irisan belimbing itu bergeletakan di halaman
Sering kali ia menghabiskan banyak air untuk mencuci belimbing-belimbingnya
Hingga akhirnya ia membasahi bajunya sendiri
Nakal
Lalu ia membuka bajunya yang basah itu
Kemudian berlarian ke dalam rumah dengan keadaan setengah telanjang
....

Aneh 2

Aku tidak pernah merasakanmu lagi ada
Sore menyadarkanku kamu benar-benar hilang
Aku tidak ingin beranjak secepat ini
Dari tempat ini
Terakhir aku menatap kelopak matamu yang pasti tidak akan membuka lagi
Dan ku masih saja merasa sore ini sangat aneh
Karena aku harus terbiasa tanpa senyummu
Tanpa membayangkan suasana tengah hari di beranda rumahmu
Yang waktu itu ku ingat aku masih duduk di sampingmu
Sore tampaknya akan benar-benar berlalu
Dan kejanggalan ini menetap padaku
Aneh, jika aku harus hidup esok hari tanpamu
Aneh, jika aku masih bisa ingat jalan pulang
Ke rumah di mana aku akan temukan tidak ada kamu
Aneh, karena aku masih berharap ini hanya mimpi
Aneh, karena aku masih berpikir itu kamu yang memandangiku dari balik pepohonan
Namun ketika ku telusuri jejakmu
Aku hampir putus asa karena lagi-lagi aku dipermainkan ilusi
Dan ketika aku melangkah dengan mata berlinang
Aneh, aku tidak ingin cepat-cepat berhenti menangis

Kamis, 10 Maret 2011

Bergenggaman Tangan

Aku pikir kita tidak akan berjalan hingga sejauh ini
Karena kakiku, kakimu, sama-sama tak beralas
Dan perjalanan ini, tidak juga akan berakhir
Namun aku belajar bagaimana merangkak
Dan tetap aku sadari tidak ada yang bisa dijadikan alasan untuk berhenti
Ketika kamu bilang, kita akan bergenggaman tangan menyusuri labirin ini
Dalam sekejap, aku sampai di ujung sana
Dan kamu bilang, kita sampai di rumah kawan
Benar, kita sampai di rumah
Dan perjalanan menyusuri labirin itu,
Tidak pernah lebih sulit
Karena kita saling bergenggaman

Rabu, 09 Maret 2011

Ke sini

Seandainya aku bisa menyampaikannya padamu
Bahwa ketika pertama kali itu, aku tahu kamu
Akan berjalan menyusuri jalan yang berbeda
Dan seandainya aku bisa meyakinkanmu
Bahwa ketika yang ke sekian kalinya, aku pikir
Jalan itu akan membutakanmu jauh sekali
Namun kamu tidak pernah menoleh ke belakang
Tidak pernah dengar panggilanku
Hingga aku paham kamu sekarang pasti merasa sangat sendiri
Karena aku pun tidak pernah bisa menjangkau bahkan setitik bayangmu
Padahal jika kamu kembali ke sini
Kamu akan temukan aku
Seandainya semuanya tidak jadi seperti ini
Bahwa pada detik-detik seperti ini, aku sangat yakin
Kita sedang tertawa bersama sambil mengenang masa lalu
Seandainya kamu tidak jadi pilih jalan itu
Besok bukan lagi sebuah penantian, kamu harus tahu
Kita akan tertawa lebih lebar, bukan merana dalam sepi
Namun lagi-lagi kamu ragukan aku, sepertinya,
Tidak tahu aku
Padahal jika kamu kembali ke sini
Kamu akan temukan aku
Namun kamu tetap bertahan di sana
Seakan tak letih berjalan merangkak di atas bebatuan tajam
Kamu selalu tak hiraukan aku
Dan kamu pikir kamu belum cukup berdarah-darah
Masih tidak mau kembali ke sini
Padahal aku masih menanti 

penyendiri


Beri aku kabar tentang dia yang tidak ada di sini
Dia yang mungkin sedang tersenyum sambil memandangiku dari sebuah tempat yang sangat jauh
Dan aku dan semua doaku setiap hari untuknya
Mungkin saja Tuhan menyampaikan salamku bahwa aku selalu ingat dia
Aku selalu tahu di hari ketika dia benar-benar pergi
Dia bahkan memintaku untuk tersenyum walau dia menangis
Dia tidak benar-benar ingin pergi
Tapi aku harus mengerti bahwa aku dan dia ikhlas
Lalu berapa banyak lagi air mata yang aku jatuhkan
Dia hanya akan terdiam dan tak kan lagi mengusap kepalaku
Walau hanya menggenggam tanganku tanpa kata
Bahkan menatapku melalui celah jendela kamar seperti yang selalu ia lakukan
Aku tahu aku bisa membayangkan senyumnya lengkap dengan lesung pipi yang selalu kurindukan
Aku merindukannya
Lalu bisakah aku tahu jika ia juga merasakan yang sama
Tuhan pasti akan mengabariku nanti
Sebelum hari itu tiba aku hanyalah seorang penyendiri di antara lamunan
Dan lamunan itu yang membawa aku padanya
Kembali ke tahun-tahun yang lalu di suatu hari yang selalu disinggahi hujan
Aku dan dia, kami berdua yang berbagi teh hangat di cangkir yang sama
Sambil terus memandangi hujan dari beranda
Ada kehangatan di setiap angin dingin yang berhembus saat itu
Saat itu kami hanya manusia biasa yang tidak tahu apa-apa
Aku kira dia bisa lebih lama lagi tinggal
Tapi ternyata dia juga akan pergi seperti yang lain
Seperti aku juga
Tapi sampai hari itu datang
Aku adalah penyendiri
Duduk di beranda di kala hujan datang dan teh hangat
Kunikmati sendirian

prolog


Dan ketika aku terbangung
Ia tidak juga membuka matanya
Apa ia sedang dalam mimpi yang panjang
Karena tak juga ia hiraukan sedikitpun panggilanku
Aku beranjak pergi dari sisinya
Ada sebuah perasaan tak menentu
Kapan ia akan bangun?
Apakah sore nanti?
Atau beberapa menit lagi?

Hujan


Hujan itu seperti nyanyian, dengarkan ia
Di kala ia turun lagi sore ini
Hujan itu seperti jembatan, melangkahlah di atasnya
Ia akan mengantarkan kita pada seseorang
Hujan itu seperti isyarat perpisahan
Menjauhlah darinya
Kita akan tetap berada di sini
Hujan itu adalah keteduhan
Di bawah derasnya butiran air berjatuhan
Tak ada matahari waktu hujan
Dan kita benar-benar terlindung dalam gelap
Hujan itu seperti nyanyian, dengarkan ia
Dan kamu akan merasakan airnya mengaliri hatimu yang gersang

berita baik

Tak ada yang tau kapan ia datang
Mungkin tadi subuh atau mungkin sore kemarin
Yang jelas ia selalu membawa kabar gembira
Begitu gembiranya hingga tak ada yang sadar kadang ia kehabisan berita
Ia ucapkan apa yang ingin didengar
Dan ia sembunyikan apa yang buruk
Jangan sampai ada yang tahu betapa busuk kenyataan di balik senyumnya
Pastikan semua dapat yang mereka mau
Mobil mewah, uang jajan, liburan ke luar negeri
Semuanya
Hingga habis satu dunia untuk mentupi lubang yang sebenarnya bertambah besar, gelap, dan dalam.
Dan ketika ia pergi lagi besok pagi hari
Ia akan memulai lagi semuanya dengan ucapan bismillah
Apa malaikat akan memberikan toleransi dengan ucapan suci itu?
Karena solat seribu kali pun tak kan sanggup mengaburkan jati dirinya
Lalu ia berpura-pura lagi dengan menggunakan seluruh kepintarannya.
Ya, tentu saja dia pintar
Pintar bukan main
Ia ucapkan lagi segala kebaikan itu. Membuat tepuk tangan dan aliran pujian terus menerus menghujaninya
Jas hitamnya yang mahal menutupi peluh kebohongan di kemeja bermerk-nya
Hari ini ia akan berhadapan lagi dengan orang-orang bodoh
Mendapatkan keuntungan lagi dari mereka yang tampak dengan mudahnya menyumbang
Sumbangan panas itu masuk lagi kesakunya
Ia pun tersenyum lebar untuk ke seratus kali
Tatkala ia bayangkan senyum sumringah istri dan anak-anaknya di rumah
Ia akan pulang dengan saku penuh lagi
Yang bagi istri dan anaknya, sebuah berita baik
Selagi di hadapannya berkecamuk kemelaratan, kekerasan, kemerosotan moral
Ia tidak mendengar jeritan minta tolong
Yang ia dengar tawa dari perutnya yang buncit
Tanpa ia tahu seseorang di luar sana terseok-seok berjalan memulung sampah hanya untuk sesuap nasi
Dan ia sangat bangga akan dirinya
Seandainya malaikat di sampingnya mampu mengumpat. Mungkin telinganya sudah terbakar hangus
Namun malaikat pasti hanya menggeleng sambil terus mencatat setiap cuil pekerjaan yang menuntunnya terus hingga ke pintu gerbang
Ia tidak akan pernah tau
Sampai ia benar-benar berdiri di sana
Dan kemudian sadar berita baik itu adalah jembatan yang dibangunnya menuju neraka
Sayangnya, Tuhan masih saja begitu menyayanginya
Nyawanya tidak akan dicabut dalam waktu dekat ini
Jika ia bisa membiarkan mata hatinya melihat, banyak sekali kesempatan berserakan di hadapannya
Kesempatan untuk membelokan arah jembatan yang dibangunnya
Namun untuk berkali-kali kesempatan itu hanya ia jadikan alas untuk melindungi sepatu mahalnya dari becek kemiskinan
Lalu apakah ia cukup bahagia?
Hanya ia yang tahu jawabannya
Yang jelas ia masih saja si pembawa berita baik yang pintar dan bergelar
Tak tahu berapa banyak lagi kepura-puraan yang akan mengubah senyumnya tat kala Tuhan mengadili
Mungkin ia sudah lupa
Tuhan juga punya pengadilan
Dan saat itu tidak ada yang bisa membayar sang Hakim untuk membebaskannya
Namun tetap saja, sampai saat ini, taubat belum terdaftar dalam agenda kerjanya
Ia, si pembawa berita baik
Akan terus mempertahankan racun yang kini sudah hampir mencapai kerongkongannya
Racun yang akan mengeringkan isi lambung beserta organ-organ lainnya
Dan ketika ia bercermin
Akan terlihat bahwa tubuhnya tidak lebih dari tulang belulang rapuh yang penuh dosa
Namun ia tidak akan pernah bisa melihat itu
Ia hanya berharap Tuhan akan maklum dan mengasihaninya
Dan hari ini pun berakhir tanpa ada petunjuk baginya
Namun yang penting baginya adalah hari ini ia pulang dengan hati riang
Ia sampai di rumah…
Disambut dengan meja makan penuh dengan hidangan makan malam
Ia tersenyum lebar dan bersyukur akan hidup yang dipilihnya
Ia duduk di antara istri dan anaknya
Di hadapan semangkuk sup panas ia menunduk dan memulai makan malamnya dengan berdoa
Tuhan masih mau mendengarnya
Ia masih mau mengasihi makhluk abai itu
Namun si pembawa berita baik tidak menyadari betapa beruntung dirinya
Ia tidak tahu semakin lama ia berdiri di atas dustanya itu
Semakin cepat api menjalar sumbu yang akan menyulut kemarahan Tuhan
Di sisi lain begitu pula anak-anaknya
Yang tampak kuat dan muda padahal mereka lemah dan tidak bisa apa-apa
Mereka akan menangis senggukan ketika sampai padanya keadaan dimana harus mencari pekerjaan untuk bisa makan
Ia tidak akan pernah tau panasnya matahari
Dan tidak akan pernah tau bagaimana rasanya kelaparan
Yang ia lihat hanya dunia dalam gemerlapnya lampu disko
Malam ini pun begitu
Mobil mewah dan dompet tebal adalah dewa bagi mereka yang akan menggiring mereka menuju nikmat dunia yang sesat
Dan mereka tertawa keras untuk itu
Tanpa tahu merekalah justru yang sedang ditertawai setan
Mereka, si pembawa berita baik dan anaknya tak lebih hebat dari dua orang badut sirkus
Mereka lucu dan sangat menghibur
Dan mereka menikmati kehidupan mereka
Padahal tidak akan lama
Mereka akan terkapar di atas perahu oleng di tengah lautan merah api
Saat itu mereka mungkin menangis, bertekuk lutut, dan membenturkan jidad mereka ke tanah
Mereka memohon ampun pada Tuhan
Tuhan yang dulu mereka lupakan
Begitupula istrinya yang masih menawan di umur yang hampir mencapai empat puluh
Ya, tentu saja dia terlihat solehah dan beriman
Namun ia hanya suka berlian dan ia tak peduli yang lain
Lalu apa kata yang lain tentang itu semua?
Tentu saja mereka tambah tidak peduli
Dan mereka bertiga terus saja tertawa terbahak-bahak
Lalu hari itu pun datang
Saat si pembawa berita baik tak lagi membawa berita kesukaan anak dan istrinya
Mereka pun tercekik oleh tawa mereka sendiri
Terdiam melihat bagaimana nasib mereka menjadi bulan-bulanan saudara mereka sendiri
Lalu mereka meringkuk di dalam kamar sempit dan gelap
Menggigil dan ketakutan
Baru sadar bahwa mereka bukan apa-apa
Namun saat mereka menatap tanah yang mereka pijak, mereka kembali congak
Mereka menatap ke atas
Mereka pasti selamat
Lagi
Dan itu
Benar
Di sisi lain, Tuhan telah menunggu mereka
Di neraka

Selasa, 08 Maret 2011

Hadiah di bulan Mei


            Aku tidak tahu mengapa mawar itu selalu datang satu tahun sekali. Dan yang paling aku jengkelkan aku tidak pernah tau siapa yang mengirim bunga itu. aku ingat waktu pertama kali aku menemukannya tergeletak begitu saja di depan pintu rumah. Aku memungutnya, karena pada tangkainya terdapat pita yang bertuliskan namaku. Hatiku langsung gembira begitu saja. Waktu itu aku baru berumur tiga belas tahun dan aku pikir aku baru saja mendapat penggemar rahasia.
            Tapi kemudian kejadian itu berlalu begitu saja. Satu tahun kemudian, aku menemukan mawar itu lagi di depan pintu. Sayangnya, aku tidak terlalu sensitif untuk menyadari bahwa mawar itu selalu datang di bulan Mei.
            Tidak terasa aku sudah melewati lima tahun bersama mawar-mawar itu. Suatu ketika aku pernah membariskan ke lima bunga berwarna merah itu di meja belajarku. Empat tangkai telah menghitam dan layu sementara satu lagi masih bertahan. Apa mungkin, salah satu teman sekelasku yang meletakkan bunga-bunga ini di depan pintu? Rasanya tidak.
            Bunga keenam pun datang. Adikku, Silla, sudah berjaga di pintu. Dialah yang paling penasaran dan ingin tahu siapa yang selama ini mengirimiku bunga. Aku sendiri terheran-heran mengapa Silla begitu yakin bahwa hari itu akan ada mawar lagi di depan pintu.
“kenapa kamu yakin mawar itu akan datang hari ini?”
“karena sekarang tanggal 1 Mei” Silla tidak mau melepaskan pandangannya dari jendela.
“oh ya?” aku sedikit ragu akan hal itu.
“iya. Mawar itu selalu datang tanggal 1 Mei” namun tampaknya Silla begitu yakin dengan yang dikatakannya. Ternyata, perkiraan Silla benar. Namun sayang, usahanya selalu gagal.
            Ada apa dengan 1 Mei? Aku pun tidak tahu. Itu bukan hari ulang tahunku, ibu, ayah ataupun adikku. Atau mungkin mawar itu hanya kiriman nyasar? Lalu sebodoh apa orang yang mengirimkan mawar itu hingga sudah melakukan kesalahan hingga lima kali?
Ternyata orang itu bukan hanya bodoh tapi juga sakit jiwa. Aku sudah mulai bosan. Akhirnya ketika datang mawar ke delapan, aku memutuskan untuk mengubur semua bunga-bunga itu. Begitu juga mawar-mawar selanjutnya di tahun-tahun yang akan datang. Aku akan mengubur semuanya
            Umurku tepat 27 tahun ketika datang mawar yang ke 14. Aku sudah menyiapkan lobang di halaman untuk langsung menguburkannya. Sementara itu, ibu justru menyuruhku mencari tahu siapa orang yang selalu mengirimiku bunga mawar setiap tahun. Ya, ibuku menyuruhku untuk segera mencari calon suami yang entah mengapa ia percaya bahwa mawar itu akan menuntunku menemukannya. Aku selalu percaya apa yang ibuku percayai, tapi untuk yang satu itu, aku tidak ingin menyamakan pikiranku dengan ibu.
            Tapi ternyata apa yang ibuku percayai memang tidak pernah salah. Di suatu pagi di bulan November, mawar itu datang, padahal tujuh bulan yang lalu aku baru saja mengubur setangkai lagi bunga di halaman. Tapi untuk mawar yang ini, aku tidak mungkin menguburnya, karena ia datang bersama seorang lelaki yang aku yakin aku pernah mengenalnya.
“Hani…” ia memanggil namaku. Sementara aku masih tidak yakin siapa dia.
“ya?” aku memandangi setangkai mawar yang ada di tangannya
“Dipta…” ia menyebutkan namanya. “ingat?” tanyanya
“…” aku mengangguk ragu
“maaf aku baru bisa datang sekarang…”
Dalam seketika ingatanku melayang ke masa-masa 20 tahun yang lalu.
            Ada sebuah taman tua yang selalu aku kunjungi setiap hari. Pada taman yang hampir tidak berpengunjung itu, terdapat sebuah terowongan kecil yang dipenuhi jaring laba-laba. Di sanalah aku menghabiskan waktu hampir berjam-jam untuk menangis dan menyendiri.
            Dipta datang di saat yang tidak tepat. Aku tidak suka ada yang melihatku menangis. Ia waktu itu hanya bocah kumal yang datang ke taman untuk bermain sepak bola. Aku bisa mendengar suara bola yang ditendang-tendang. Aku yakin ia bermain tepat di samping terowongan tempatku bersembunyi.
            Ia menendang bola ke arah terowongan. Terus menerus seperti itu. Dentumannya sangat menggangguku. Aku keluar dari terowongan dengan berlinang air mata, tatapan mataku menandakan aku sedang marah. Dipta berhenti menendang bola, ia memandang ke arahku.
“kamu nangis di dalam sana?”
“…” aku tidak menjawab
“Selama itu?” Dipta melangkah mendekat
“…” aku mundur. Aku marah sekaligus malu. Semua rasa bercampur aduk. Aku tidak ingin berbicara dengannya. Akhirnya aku putuskan untuk berlari pergi. Sementara aku terus berlari, aku melemparkan lagi pandanganku ke belakang melewati celah rumput-rumput liar yang tinggi, masih di samping terowongan, Dipta melanjutkan permainan bolanya.
            Aku tidak bisa lepas dari taman. Tempat kusam itu sudah menjadi rumah kedua bagiku. Keesokannya aku kembali ke sana dan lagi-lagi bocah menjengkelkan itu tampak sedang bermain bola di samping terowongan. Ia berhenti menendang ketika menyadari kehadiranku.
“mau nangis lagi?” tanyanya
“…” aku tidak mau menjawab dan langsung bergegas masuk ke dalam terowongan. Saat itu aku temukan mawar pertamaku.
“kamu mau tau darimana mawar itu berasal? Ia tumbuh tidak jauh dari sini..” wajah tirus Dipta muncul di ujung terowongan.
“…” aku membisu sambil memandangi mawar itu.
“aku mau ke sana sekarang…” Dipta menenteng bolanya. Ia bergegas untuk pergi. Dengan malu-malu aku mengikutinya.
            Aku tidak pernah tahu sisi lain dari taman. Selama ini tempat menyedihkan itu hanya menampakkan kesenduan dan kekhawatiran. Aku bisa merasakan kepahitan di setiap titik. Aku bisa merasakan kesedihannya yang sedang menunggu waktu untuk dihancurkan. Namun sekawanan mawar liar yang Dipta tunjukan padaku berkata lain. Kehadiran mereka seakan membantah keadaan taman yang sudah porak poranda. Mereka seperti kecantikan yang terpendam, sebutir mutiara diantara arang, mereka istimewa dan semenjak itu aku jatuh cinta pada mawar.
            Aku tidak lagi membutuhkan terowongan untuk bersembunyi dan menangis. Ketika aku merasa sedih dan ingin mati, aku mengunjungi mawar-mawarku.
            Dipta yang sekarang berbeda dengan yang dulu. Ia tidak kurus dan kumal lagi. Penampilannya sekarang seperti seorang pengusaha muda dan ternyata memang itulah profesinya. Ia tampan dan penuh dengan karisma. Aku tidak menyangka teman masa kecilku itu bisa jadi seperti sekarang ini.
            Aku mempersilakan Dipta masuk. Hatiku berdebar tak karuan. Apakah semua yang dikatakan ibu benar adanya? Apakah mawar-mawar itu sebuah pertanda? Aku tidak tahu. Namun semua menjadi jelas, ketika tiga bulan kemudian Dipta melamarku. Aku pun semakin jatuh cinta pada mawar.
            Akhirnya 1 Mei pun datang. Hari paling bersejarah dalam hidupku dan tentunya bagi Dipta juga. Hari di mana kami duduk berdua di pelaminan dengan perasaan membuncah dan senang luar biasa. Aku merasa seperti seorang putri. Rasanya aku tidak ingin hari itu cepat berakhir.
            Lalu kemudian wajahnya muncul di antara kerumunan. Semua perasaan gembira dalam hatiku mendadak hilang. Aku terpaku memandangi seraut wajah keriput di tengah sana. Sesosok lelaki tua yang berjalan bungkuk dengan sebuah tongkat penyangga di tangannya. Aku tidak percaya aku melihatnya lagi. Setelah lebih dari dua puluh tahun dia menghilang. Kini dia ada di hadapanku. Lelaki itu, lebih tua dan tidak berdaya dari apa yang aku bayangkan.
            Ia berjalan menuju pelaminan bersama para undangan yang lain. Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Terlebih lagi aku tidak bisa memisahkan perasaan marah dan rindu yang bercampur aduk dalam hatiku. Aku ingin memakinya namun di sisi lain, aku juga ingin memeluknya.
            Ia sampai di hadapanku setelah sebelumnya bersalaman dengan Dipta. Ia tersenyum, sebuah senyum tulus yang penuh kerinduan. Aku bisa membaca ekspresi di wajahnya, ia memohon sebuah senyuman balasan dariku. Namun rasa rinduku tertahan oleh benci dan marah. Aku justru mengabaikan keberadaannya. Ia lalu mengulurkan tangannya perlahan. Lagi-lagi aku tidak memberikan respon apa-apa. Aku tidak mau menjabat tangannya. Sorot matanya mengutarakan perasaan yang penuh dengan rasa bersalah. Tapi aku terlalu marah untuk bisa memaafkannya. Aku memalingkan mukaku dan membiarkannya pergi dari hadapanku tanpa sepatah katapun. Lelaki itu pun melangkah pergi dengan perasaan kecewa, senyum di wajahnya terhapus begitu saja. Sementara itu Dipta terdiam.
            Aku kembali melemparkan pandanganku ke arahnya. Ia sedang berjalan menuju pintu dengan langkah yang sangat pelan dan kepala yang tertunduk. Aku masih tidak percaya ia sudah setua itu. Kemudian ia berhenti tepat ketika sampai di ambang pintu. Ia membalikan badannya kemudian menatap ke arahku. Ia tersenyum lagi. Namun, untuk kedua kalinya aku hanya memalingkan wajah.
            Pesta itu diakhiri dengan pembicaraan serius antara aku dan ibuku. Ia memaksaku untuk memaafkan lelaki itu. Tidak ada lagi yang harus dipermasalahkan sekarang. Semua sudah terjadi. Tapi aku masih saja menaruh dendam. Bahkan dendamku semakin bertambah besar ketika melihatnya muncul lagi di kehidupanku. Mengapa ibu tidak mengerti? Aku seperti ini tidak lain karena rasa sayangku yang terlalu besar padanya. Rasa sayang yang berbuntut kekecewaan karena ia pergi meninggalkanku tanpa alasan.
            Aku tahu sudah ada sosok yang bisa menggantikan tempatnya. Bukan hanya menggantikan, sosok itu bahkan telah melakukan hal yang lebih berarti lagi. Ia telah mengembalikan senyuman ibu. Namun itu semakin membuatku bertambah kesal. Mengapa lelaki itu tidak bisa menjadi ayah yang sebenarnya? Seperti ayah yang sekarang aku miliki? Aku tidak habis pikir.
            Ternyata laki-laki itu tidak menyerah. Ia datang kerumah dua minggu kemudian. Waktu itu, hanya ada aku di rumah. Ibu, ayah, beserta Silla pergi ke luar kota sementara mas Dipta sudah kembali bekerja. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Tapi yang jelas aku tidak mau bertemu dengannya.
            Aku tidak membukakan pintu untukknya. Tapi setengah jam sudah berlalu dan aku tahu dia masih ada di beranda, menunggu aku untuk muncul di hadapannya. Aku yakin, dia juga tahu bahwa aku ada di dalam rumah. Tapi aku tidak melakukan apa-apa waktu itu. Aku membiarkannya duduk sendirian di teras rumah, kepanasan menungguku.
            Sudah lebih dari empat jam ketika aku mengintip lewat jendela dan mendapati ternyata ia masih ada di sana. Duduk termenung sendirian, seperti orang putus asa. Rasa kasihan datang merasuki benakku. Tanganku tergerak untuk membukakan pintu. Tapi aku urungkan niat itu. Aku justru beranjak pergi dari ruang tamu kemudian mengunci diri dalam kamar dan menangis.
            Tiga puluh menit kemudian, aku menyerah. Aku berjalan gontai menuju ruang tamu. Aku tidak bisa lagi membohongi hatiku bahwa aku sama sekali tidak membencinya. Dalam seketika aku menjadi tidak sabar untuk bertemu dengannya. Aku ingin memeluknya dan menangis sekencang mungkin. Tanpa disadari langkahku semakin cepat. Dalam hitungan detik aku sampai di ruang tamu. Tanganku terulur menyentuh gagang pintu. Aku memutar kunci dan seketika pintu itu terbuka… tidak ada siapa-siapa di sana. Dia telah pergi.                       
Di akhir April, tepatnya di hari Jumat yang kelabu, ayah mengatakan bahwa novel yang ia tulis akan diangkat menjadi film layar lebar. Tidak bisa digambarkan betapa antusiasnya ayah ketika menyampaikan berita tesebut. Pada malam di hari yang sama, kami sekeluarga langsung merayakannya. Aku bisa melihat ekspresi gembira pada wajah Silla. Apalagi ibu.
            Lalu sebuah sms dari nomor tidak dikenal merusak suasana di malam itu.
Tolong datang secepatnya, ayahmu sakit
Pesan singkat itu cukup membuatku bungkam selama hampir satu jam. Aku perhatikan wajah ibu yang mendadak pucat dan tangannya gemetar. Ia pasti sudah menerima kabar yang sama. Aku menatap ayah, Silla, kemudian Dipta. Aku tidak berani menghancurkan perayaan malam itu. Akhirnya aku putuskan untuk tidak beranjak kemana-mana.
            Aku, mas Dipta, ibu, Silla dan ayah pulang hampir menjelang dini hari. Kami semua langsung melangkah menuju kamar masing-masing dan segera bergegas untuk tidur. Namun, pikiranku tidak juga mau beristirahat. Aku memikirkan dia, lelaki itu. Bagaimana keadaannya sekarang? Apa ia sudah membaik? Apa aku harus mengunjunginya? Sms dari nomor asing itu belum aku hapus. Di sana dilampirkan alamat dari lelaki itu. Aku bimbang. Harus aku akui, aku benar-benar ingin bertemu dengannya. Aku rindu ayah, ayah kandungku. Tapi, kenyataannya aku justru memaksa diriku sendiri untuk melupakan hal itu dan segera tidur.
            1 Mei datang lagi. Aku terbangun ketika jam sudah menunjukan pukul 08.00 pagi. Mas Dipta ternyata sudah bangun lebih dulu. Ia sedang berdiri di ujung tempat tidur ketika aku membuka mata. Ia menatapku sambil menggenggam setangkai mawar yang masih segar di tangannya. Aku tersenyum hangat. Mas Dipta melangkah mendekat dan duduk di sampingku kemudian ia memberikan bunga itu padaku.
“makasih mas..”
 “itu dari ayahmu.. ” mas Dipta menunduk “dan itu mawar terakhir” lanjutnya kemudian. Aku terdiam sambil membaca sebaris kalimat pesan yang tertulis pada pita yang terikat di tangkai mawar itu.
Apa kamu masih marah pada ayahmu ini nak?
Mataku mulai berkaca-kaca.
“ini…” mas Dipta kembali menyodorkan setangkai bunga mawar. Namun mawar itu telah layu.
“apa ini mas?” aku semakin tidak mengerti.
“itu mawar yang tidak sempat ayahmu berikan satu tahun yang lalu, di hari pernikahan kita”
Sementara aku masih membisu, ibu, Silla, dan ayah telah berdiri di pintu kamar. Mata ibu sembap. Mereka bertiga mengenakan baju berwarna hitam. Ayah berjalan mendekat.
“Hani,  tadi pagi ayahmu…”
Aku menutup telinga. Aku tidak ingin mendengar apa-apa. Aku baru ingat, 1 Mei, 23 tahun yang lalu adalah hari terakhirku bermain di taman bersama ayah.