Selasa, 08 Maret 2011

Hadiah di bulan Mei


            Aku tidak tahu mengapa mawar itu selalu datang satu tahun sekali. Dan yang paling aku jengkelkan aku tidak pernah tau siapa yang mengirim bunga itu. aku ingat waktu pertama kali aku menemukannya tergeletak begitu saja di depan pintu rumah. Aku memungutnya, karena pada tangkainya terdapat pita yang bertuliskan namaku. Hatiku langsung gembira begitu saja. Waktu itu aku baru berumur tiga belas tahun dan aku pikir aku baru saja mendapat penggemar rahasia.
            Tapi kemudian kejadian itu berlalu begitu saja. Satu tahun kemudian, aku menemukan mawar itu lagi di depan pintu. Sayangnya, aku tidak terlalu sensitif untuk menyadari bahwa mawar itu selalu datang di bulan Mei.
            Tidak terasa aku sudah melewati lima tahun bersama mawar-mawar itu. Suatu ketika aku pernah membariskan ke lima bunga berwarna merah itu di meja belajarku. Empat tangkai telah menghitam dan layu sementara satu lagi masih bertahan. Apa mungkin, salah satu teman sekelasku yang meletakkan bunga-bunga ini di depan pintu? Rasanya tidak.
            Bunga keenam pun datang. Adikku, Silla, sudah berjaga di pintu. Dialah yang paling penasaran dan ingin tahu siapa yang selama ini mengirimiku bunga. Aku sendiri terheran-heran mengapa Silla begitu yakin bahwa hari itu akan ada mawar lagi di depan pintu.
“kenapa kamu yakin mawar itu akan datang hari ini?”
“karena sekarang tanggal 1 Mei” Silla tidak mau melepaskan pandangannya dari jendela.
“oh ya?” aku sedikit ragu akan hal itu.
“iya. Mawar itu selalu datang tanggal 1 Mei” namun tampaknya Silla begitu yakin dengan yang dikatakannya. Ternyata, perkiraan Silla benar. Namun sayang, usahanya selalu gagal.
            Ada apa dengan 1 Mei? Aku pun tidak tahu. Itu bukan hari ulang tahunku, ibu, ayah ataupun adikku. Atau mungkin mawar itu hanya kiriman nyasar? Lalu sebodoh apa orang yang mengirimkan mawar itu hingga sudah melakukan kesalahan hingga lima kali?
Ternyata orang itu bukan hanya bodoh tapi juga sakit jiwa. Aku sudah mulai bosan. Akhirnya ketika datang mawar ke delapan, aku memutuskan untuk mengubur semua bunga-bunga itu. Begitu juga mawar-mawar selanjutnya di tahun-tahun yang akan datang. Aku akan mengubur semuanya
            Umurku tepat 27 tahun ketika datang mawar yang ke 14. Aku sudah menyiapkan lobang di halaman untuk langsung menguburkannya. Sementara itu, ibu justru menyuruhku mencari tahu siapa orang yang selalu mengirimiku bunga mawar setiap tahun. Ya, ibuku menyuruhku untuk segera mencari calon suami yang entah mengapa ia percaya bahwa mawar itu akan menuntunku menemukannya. Aku selalu percaya apa yang ibuku percayai, tapi untuk yang satu itu, aku tidak ingin menyamakan pikiranku dengan ibu.
            Tapi ternyata apa yang ibuku percayai memang tidak pernah salah. Di suatu pagi di bulan November, mawar itu datang, padahal tujuh bulan yang lalu aku baru saja mengubur setangkai lagi bunga di halaman. Tapi untuk mawar yang ini, aku tidak mungkin menguburnya, karena ia datang bersama seorang lelaki yang aku yakin aku pernah mengenalnya.
“Hani…” ia memanggil namaku. Sementara aku masih tidak yakin siapa dia.
“ya?” aku memandangi setangkai mawar yang ada di tangannya
“Dipta…” ia menyebutkan namanya. “ingat?” tanyanya
“…” aku mengangguk ragu
“maaf aku baru bisa datang sekarang…”
Dalam seketika ingatanku melayang ke masa-masa 20 tahun yang lalu.
            Ada sebuah taman tua yang selalu aku kunjungi setiap hari. Pada taman yang hampir tidak berpengunjung itu, terdapat sebuah terowongan kecil yang dipenuhi jaring laba-laba. Di sanalah aku menghabiskan waktu hampir berjam-jam untuk menangis dan menyendiri.
            Dipta datang di saat yang tidak tepat. Aku tidak suka ada yang melihatku menangis. Ia waktu itu hanya bocah kumal yang datang ke taman untuk bermain sepak bola. Aku bisa mendengar suara bola yang ditendang-tendang. Aku yakin ia bermain tepat di samping terowongan tempatku bersembunyi.
            Ia menendang bola ke arah terowongan. Terus menerus seperti itu. Dentumannya sangat menggangguku. Aku keluar dari terowongan dengan berlinang air mata, tatapan mataku menandakan aku sedang marah. Dipta berhenti menendang bola, ia memandang ke arahku.
“kamu nangis di dalam sana?”
“…” aku tidak menjawab
“Selama itu?” Dipta melangkah mendekat
“…” aku mundur. Aku marah sekaligus malu. Semua rasa bercampur aduk. Aku tidak ingin berbicara dengannya. Akhirnya aku putuskan untuk berlari pergi. Sementara aku terus berlari, aku melemparkan lagi pandanganku ke belakang melewati celah rumput-rumput liar yang tinggi, masih di samping terowongan, Dipta melanjutkan permainan bolanya.
            Aku tidak bisa lepas dari taman. Tempat kusam itu sudah menjadi rumah kedua bagiku. Keesokannya aku kembali ke sana dan lagi-lagi bocah menjengkelkan itu tampak sedang bermain bola di samping terowongan. Ia berhenti menendang ketika menyadari kehadiranku.
“mau nangis lagi?” tanyanya
“…” aku tidak mau menjawab dan langsung bergegas masuk ke dalam terowongan. Saat itu aku temukan mawar pertamaku.
“kamu mau tau darimana mawar itu berasal? Ia tumbuh tidak jauh dari sini..” wajah tirus Dipta muncul di ujung terowongan.
“…” aku membisu sambil memandangi mawar itu.
“aku mau ke sana sekarang…” Dipta menenteng bolanya. Ia bergegas untuk pergi. Dengan malu-malu aku mengikutinya.
            Aku tidak pernah tahu sisi lain dari taman. Selama ini tempat menyedihkan itu hanya menampakkan kesenduan dan kekhawatiran. Aku bisa merasakan kepahitan di setiap titik. Aku bisa merasakan kesedihannya yang sedang menunggu waktu untuk dihancurkan. Namun sekawanan mawar liar yang Dipta tunjukan padaku berkata lain. Kehadiran mereka seakan membantah keadaan taman yang sudah porak poranda. Mereka seperti kecantikan yang terpendam, sebutir mutiara diantara arang, mereka istimewa dan semenjak itu aku jatuh cinta pada mawar.
            Aku tidak lagi membutuhkan terowongan untuk bersembunyi dan menangis. Ketika aku merasa sedih dan ingin mati, aku mengunjungi mawar-mawarku.
            Dipta yang sekarang berbeda dengan yang dulu. Ia tidak kurus dan kumal lagi. Penampilannya sekarang seperti seorang pengusaha muda dan ternyata memang itulah profesinya. Ia tampan dan penuh dengan karisma. Aku tidak menyangka teman masa kecilku itu bisa jadi seperti sekarang ini.
            Aku mempersilakan Dipta masuk. Hatiku berdebar tak karuan. Apakah semua yang dikatakan ibu benar adanya? Apakah mawar-mawar itu sebuah pertanda? Aku tidak tahu. Namun semua menjadi jelas, ketika tiga bulan kemudian Dipta melamarku. Aku pun semakin jatuh cinta pada mawar.
            Akhirnya 1 Mei pun datang. Hari paling bersejarah dalam hidupku dan tentunya bagi Dipta juga. Hari di mana kami duduk berdua di pelaminan dengan perasaan membuncah dan senang luar biasa. Aku merasa seperti seorang putri. Rasanya aku tidak ingin hari itu cepat berakhir.
            Lalu kemudian wajahnya muncul di antara kerumunan. Semua perasaan gembira dalam hatiku mendadak hilang. Aku terpaku memandangi seraut wajah keriput di tengah sana. Sesosok lelaki tua yang berjalan bungkuk dengan sebuah tongkat penyangga di tangannya. Aku tidak percaya aku melihatnya lagi. Setelah lebih dari dua puluh tahun dia menghilang. Kini dia ada di hadapanku. Lelaki itu, lebih tua dan tidak berdaya dari apa yang aku bayangkan.
            Ia berjalan menuju pelaminan bersama para undangan yang lain. Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Terlebih lagi aku tidak bisa memisahkan perasaan marah dan rindu yang bercampur aduk dalam hatiku. Aku ingin memakinya namun di sisi lain, aku juga ingin memeluknya.
            Ia sampai di hadapanku setelah sebelumnya bersalaman dengan Dipta. Ia tersenyum, sebuah senyum tulus yang penuh kerinduan. Aku bisa membaca ekspresi di wajahnya, ia memohon sebuah senyuman balasan dariku. Namun rasa rinduku tertahan oleh benci dan marah. Aku justru mengabaikan keberadaannya. Ia lalu mengulurkan tangannya perlahan. Lagi-lagi aku tidak memberikan respon apa-apa. Aku tidak mau menjabat tangannya. Sorot matanya mengutarakan perasaan yang penuh dengan rasa bersalah. Tapi aku terlalu marah untuk bisa memaafkannya. Aku memalingkan mukaku dan membiarkannya pergi dari hadapanku tanpa sepatah katapun. Lelaki itu pun melangkah pergi dengan perasaan kecewa, senyum di wajahnya terhapus begitu saja. Sementara itu Dipta terdiam.
            Aku kembali melemparkan pandanganku ke arahnya. Ia sedang berjalan menuju pintu dengan langkah yang sangat pelan dan kepala yang tertunduk. Aku masih tidak percaya ia sudah setua itu. Kemudian ia berhenti tepat ketika sampai di ambang pintu. Ia membalikan badannya kemudian menatap ke arahku. Ia tersenyum lagi. Namun, untuk kedua kalinya aku hanya memalingkan wajah.
            Pesta itu diakhiri dengan pembicaraan serius antara aku dan ibuku. Ia memaksaku untuk memaafkan lelaki itu. Tidak ada lagi yang harus dipermasalahkan sekarang. Semua sudah terjadi. Tapi aku masih saja menaruh dendam. Bahkan dendamku semakin bertambah besar ketika melihatnya muncul lagi di kehidupanku. Mengapa ibu tidak mengerti? Aku seperti ini tidak lain karena rasa sayangku yang terlalu besar padanya. Rasa sayang yang berbuntut kekecewaan karena ia pergi meninggalkanku tanpa alasan.
            Aku tahu sudah ada sosok yang bisa menggantikan tempatnya. Bukan hanya menggantikan, sosok itu bahkan telah melakukan hal yang lebih berarti lagi. Ia telah mengembalikan senyuman ibu. Namun itu semakin membuatku bertambah kesal. Mengapa lelaki itu tidak bisa menjadi ayah yang sebenarnya? Seperti ayah yang sekarang aku miliki? Aku tidak habis pikir.
            Ternyata laki-laki itu tidak menyerah. Ia datang kerumah dua minggu kemudian. Waktu itu, hanya ada aku di rumah. Ibu, ayah, beserta Silla pergi ke luar kota sementara mas Dipta sudah kembali bekerja. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Tapi yang jelas aku tidak mau bertemu dengannya.
            Aku tidak membukakan pintu untukknya. Tapi setengah jam sudah berlalu dan aku tahu dia masih ada di beranda, menunggu aku untuk muncul di hadapannya. Aku yakin, dia juga tahu bahwa aku ada di dalam rumah. Tapi aku tidak melakukan apa-apa waktu itu. Aku membiarkannya duduk sendirian di teras rumah, kepanasan menungguku.
            Sudah lebih dari empat jam ketika aku mengintip lewat jendela dan mendapati ternyata ia masih ada di sana. Duduk termenung sendirian, seperti orang putus asa. Rasa kasihan datang merasuki benakku. Tanganku tergerak untuk membukakan pintu. Tapi aku urungkan niat itu. Aku justru beranjak pergi dari ruang tamu kemudian mengunci diri dalam kamar dan menangis.
            Tiga puluh menit kemudian, aku menyerah. Aku berjalan gontai menuju ruang tamu. Aku tidak bisa lagi membohongi hatiku bahwa aku sama sekali tidak membencinya. Dalam seketika aku menjadi tidak sabar untuk bertemu dengannya. Aku ingin memeluknya dan menangis sekencang mungkin. Tanpa disadari langkahku semakin cepat. Dalam hitungan detik aku sampai di ruang tamu. Tanganku terulur menyentuh gagang pintu. Aku memutar kunci dan seketika pintu itu terbuka… tidak ada siapa-siapa di sana. Dia telah pergi.                       
Di akhir April, tepatnya di hari Jumat yang kelabu, ayah mengatakan bahwa novel yang ia tulis akan diangkat menjadi film layar lebar. Tidak bisa digambarkan betapa antusiasnya ayah ketika menyampaikan berita tesebut. Pada malam di hari yang sama, kami sekeluarga langsung merayakannya. Aku bisa melihat ekspresi gembira pada wajah Silla. Apalagi ibu.
            Lalu sebuah sms dari nomor tidak dikenal merusak suasana di malam itu.
Tolong datang secepatnya, ayahmu sakit
Pesan singkat itu cukup membuatku bungkam selama hampir satu jam. Aku perhatikan wajah ibu yang mendadak pucat dan tangannya gemetar. Ia pasti sudah menerima kabar yang sama. Aku menatap ayah, Silla, kemudian Dipta. Aku tidak berani menghancurkan perayaan malam itu. Akhirnya aku putuskan untuk tidak beranjak kemana-mana.
            Aku, mas Dipta, ibu, Silla dan ayah pulang hampir menjelang dini hari. Kami semua langsung melangkah menuju kamar masing-masing dan segera bergegas untuk tidur. Namun, pikiranku tidak juga mau beristirahat. Aku memikirkan dia, lelaki itu. Bagaimana keadaannya sekarang? Apa ia sudah membaik? Apa aku harus mengunjunginya? Sms dari nomor asing itu belum aku hapus. Di sana dilampirkan alamat dari lelaki itu. Aku bimbang. Harus aku akui, aku benar-benar ingin bertemu dengannya. Aku rindu ayah, ayah kandungku. Tapi, kenyataannya aku justru memaksa diriku sendiri untuk melupakan hal itu dan segera tidur.
            1 Mei datang lagi. Aku terbangun ketika jam sudah menunjukan pukul 08.00 pagi. Mas Dipta ternyata sudah bangun lebih dulu. Ia sedang berdiri di ujung tempat tidur ketika aku membuka mata. Ia menatapku sambil menggenggam setangkai mawar yang masih segar di tangannya. Aku tersenyum hangat. Mas Dipta melangkah mendekat dan duduk di sampingku kemudian ia memberikan bunga itu padaku.
“makasih mas..”
 “itu dari ayahmu.. ” mas Dipta menunduk “dan itu mawar terakhir” lanjutnya kemudian. Aku terdiam sambil membaca sebaris kalimat pesan yang tertulis pada pita yang terikat di tangkai mawar itu.
Apa kamu masih marah pada ayahmu ini nak?
Mataku mulai berkaca-kaca.
“ini…” mas Dipta kembali menyodorkan setangkai bunga mawar. Namun mawar itu telah layu.
“apa ini mas?” aku semakin tidak mengerti.
“itu mawar yang tidak sempat ayahmu berikan satu tahun yang lalu, di hari pernikahan kita”
Sementara aku masih membisu, ibu, Silla, dan ayah telah berdiri di pintu kamar. Mata ibu sembap. Mereka bertiga mengenakan baju berwarna hitam. Ayah berjalan mendekat.
“Hani,  tadi pagi ayahmu…”
Aku menutup telinga. Aku tidak ingin mendengar apa-apa. Aku baru ingat, 1 Mei, 23 tahun yang lalu adalah hari terakhirku bermain di taman bersama ayah.

           

           
               
           
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar